Dalam kontrak Production Sharing, kenyataannya memang tidak seluruh penerimaan (laba kotor), sama dengan hasil dari nilai realisasi penjualan yang dilakukan oleh kontraktor. Dari hasil realisasi penjualan, masih ada kemungkinan bagian dari realisasi penerimaan yang dibayarkan kepada Perusahaan Negara, karena terjadi kondisi overlifting. Dalam penjelasan pasal 2 (d), yang boleh diperhitungkan terhadap pendapatan kotor, hanya nilai realisasi yang dibayarkan kepada Perusahaan Negara, tetapi tidak dinyatakan, apakah dapat diperhitungkan yang diterima dari Perusahaan Negara, atau memang dianggap sebagai penjualan kepada Perusahaan Negara. Padahal kemungkinan penerimaan Perusahaan Negara ini, dapat terjadi apabila ada over lifting, atau minyak mentah untuk pengembalian Operating costs, dijual oleh Perusahaan Negara.
Dalam Keputusan Menteri Keuangan hanya mengatur pembayaran over/under lifting antara Perusahaan Negara dan Kontraktor. Pengertian kontraktor ada kemungkinan merupakan kelompok yang terdiri dari beberapa partner dan merupakan subjek pajak tersendiri secara terpisah. Dalam praktek antar partner dapat dihitung berdasarkan realisasi lifting. Karena pendapatan kotor dari masing-masing partner dihitung berdasarkan realisasi lifting, maka dapat saja bagi partner yang underlifting akan membayar pajak sesuai dengan actual liftingnya, dan bagi yang overlifting akan membayar pajak sesuai dengan haknya, sehingga secara arus tunai akan merugikan Indonesia.
Dalam ketentuan pengembalian operating cost, kontraktor dapat mengambil in natura dan melakukan penjualan sendiri. Atau dapat juga penjualannya dilakukan oleh pihak lain, yaitu Perusahaan Negara. Atau diproses lebih lanjut dalam pengilangan baik kemungkinan dilakukan oleh kontraktor atau Perusahaan Negara.
Kemungkinan Perusahaan Negara menjual atau mengambil minyak mentah, yang digunakan untuk pengembalian operating cost diatur sesuai dengan ketentuan berikut:
“Pertamina shall have the option, in any year, in which the quantity of crude oil to which it is entitled pursuant to section Recovery Of Operating Cost, hereof is less than 50% of production”
Dalam Kontrak Production Sharing yang ditanda tangani mulai tahun 1977, lebih tegas dinyatakan, bahwa Perusahaan Negara mempunyai hak operation atas minyak mentah sebesar 50% dari jumlah produksi. Sehingga berdasarkan pasal ini, memungkinkan Perusahaan Negara untuk mengambil hak minyak mentah kontraktor dan membayarnya secara tunai. Penerimaan tunai kontraktor dari Perusahaan Negara ini, tidak dicakup secara jelas oleh Keputusan Menteri Keuangan ini, sebagai pengertian laba kotor. Namun demikian, masih tetap dapat dijangkau, dimana sesuai dengan isi Kontrak Production Sharing masih tetap diberlakukan Ordonansi Pajak Perseroan 1925.
Di samping ketentuan ini, masih ada pasal lain yang memungkinkan Perusahaan Negara dapat menjual minyak mentah, untuk pengembalian operating costs. Pada prinsipnya, hak pengembalian Perusahaan Negara dapat dilakukan, dapat digunakan untuk menampung beban-beban biaya dari Wilayah Kuasa Pertambangan daerah lainnya. Pembebanan dari Wilayah Kuasa Pertambangan lain, prioriratasnya juga biaya sesudah 1 Januari 1978 dan apabila masih ada untuk biaya sebelum 1 Januari 1978, dengan yang dikurangkan lebih dahulu adalah biaya yang terjadi sebelum 1 Januari 1976.
Bagi Wilayah Kuasa Pertambangan yang sudah tidak bermanfaat lagi, atau gagal menemukan cadangan komersil, semua biaya yang terjadi mulai 1 Januari 1978 yang belum diperhitungkan dalam perhitungan pajak dapat dikurangkan sekaligus pada pada pendapatan gabungan, adalah pada saat Wilayah Kuasa Pertambangan dinyatakan sudah tidak bermanfaat lagi (termination). Atau berdasrkan Keputusan Menteri Keuangan ini, pada prinsipnya kerugian Wilayah Kuasa Pertambangan untuk pengeluaran biaya mulai 1 Januari 1978 secara konsolidasi dapat dikurangkan pada pendapatan Wilayah Kuasa Pendapatan lain. Dalam perpajakan prinsip pembebanan ini, disebut dengan asas konsolidasi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ini, maka konsolidasi berkenaan dengan perhitungan pajak dapat dilakukan pada saat Wilayah Kuasa Pertambangan mulai produksi komersil atau setelah Wilayah Kuasa Pertambangan dinyatakan tidak bermanfaat lagi (termination). Untuk konsolidasi dengan syarat mulai produksi komersil, sebenarnya boleh merupakan kerugian mutlak, tetapi hanya masalah penundaan pembayaran pajak. Namun untuk konsolidasi dengan syarat Wilayah Kuasa Pertambangan tidak bermanfaat lagi, adalah merupakan kerugian sebenarnya pembayaran pajak yang dilakukan oleh kontraktor, lebih kecil dari pajak inkind (tax oil) yang telah diberikan oleh Perusahaan Negara. Atau dengan kata lain, ada sebagian dari resiko eksplorasi yang ditanggung oleh Indonesia melalui pengurangan pembayaran pajak. Prinsip inilah yang bertentangan dengan hakekat filosofi Kontrak Production Sharing, oleh karena itu untuk setiap Wilayah Kuasa Pertimbangan kontraktor diwajibkan mendirikan badan hukum secara terpisah.